Admin everybody need o2 menyampaikan terimakasih atas kunjungan anda, jangan sungkan untuk berbagi, Anda masih membaca postingan yang berjudul "hadits tentang larangan pejabat menerima hadiah " jika anda beruntung, akan anda link download ditiap-tiap postingan pada blog everybody need o2. semoga bermanfaat...
hadits tentang larangan pejabat menerima hadiah
hadits tentang larangan pejabat menerima hadiah,hadits larangan pejabat menerima hadiah,hadits larangan meminta jabatan,hadits larangan meminta minta,hadits tentang larangan meminta minta,hadits tentang larangan mencari jabatan,hadits larangan berambisi menduduki jabatan,meminta jabatan menurut islam,makalah hadits larangan meminta jabatan,hadits tentang jabatan,jabatan adalah amanah dari allah,hadits tentang pejabat menerima hadiah,hadits larangan pejabat menerima hadiah,hadits tentang jabatan,makalah hadits larangan pejabat menerima hadiah,hadits tentang pejabat menerima hadiah,hadits larangan pejabat menerima hadiah,hadits tentang jabatan,makalah hadits larangan pejabat menerima hadiah
Dasar Larangan Bagi Pejabat Untuk Menerima Hadiah
Dasar Larangan Bagi Pejabat Untuk Menerima Hadiah
حَدِيْثُ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَعْمَلَ عَامِلًا فَجَاءَهُ الْعَامِلُ حِينَ فَرَغَ مِنْ عَمَلِهِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذَا لَكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي فَقَالَ لَهُ أَفَلَا قَعَدْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَأُمِّكَ فَنَظَرْتَ أَيُهْدَى لَكَ أَمْ لَا ثُمَّ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشِيَّةً بَعْدَ الصَّلَاةِ فَتَشَهَّدَ وَأَثْنَى عَلَى اللَّهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَمَا بَالُ الْعَامِلِ نَسْتَعْمِلُهُ فَيَأْتِينَا فَيَقُولُ هَذَا مِنْ عَمَلِكُمْ وَهَذَا أُهْدِيَ لِي أَفَلَا قَعَدَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ فَنَظَرَ هَلْ يُهْدَى لَهُ أَمْ لَا فَوَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا يَغُلُّ أَحَدُكُمْ مِنْهَا شَيْئًا إِلَّا جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى عُنُقِهِ إِنْ كَانَ بَعِيرًا جَاءَ بِهِ لَهُ رُغَاءٌ وَإِنْ كَانَتْ بَقَرَةً جَاءَ بِهَا لَهَا خُوَارٌ وَإِنْ كَانَتْ شَاةً جَاءَ بِهَا تَيْعَرُ فَقَدْ بَلَّغْتُ فَقَالَ أَبُو حُمَيْدٍ ثُمَّ رَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ حَتَّى إِنَّا لَنَنْظُرُ إِلَى عُفْرَةِ إِبْطَيْهِ
(أخرجه البخارى فى : 73 كتاب الإيمان والنذور 3 – باب كانت يمين النبي صلى الله عليه وسلم)
Terjemahan adith
Ab umaid as-Sa’idy r.a. berkata, Rasulullah SAW mengangkat seorang pegawai unatuk menerima sedekah / zakat, kemudian setelah selesai ia datang kepada Nabi SAW dan berkata “Ini untukmu dan yang ini untuk hadiah yang diberikan orang kepadaku.” Maka Nabi SAW bersabda kepadanya “Mengapakah anda tidak duduk saja di rumah ayah atau ibu anda untuk melihat apakah diberi hadiah atau tidak (oleh orang)?”. Kemudian sesudah shalat, Nabi SAW berdiri, setelah tasyahut memuji Allah selayaknya, lalu bersabda, “Amma ba’du, mengapakah seorang pegawai yang disrahi amal, kemudian ia datang lalu berkata, ini hasil untuk kamu dan ini aku beri hadiah, mengapa tidak duduk saja di rumah ayah dan ibunya untuk melihat apakah di beri hadiah atau tidak. Demi Allah! Yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, tiada orang yang menyembunyikan sesuatu (korupsi), melainkan ia akan menghadap di hari kiamat memikul di atas lehernya, jika berupa onta bersuara, antau lembu yang menguak atau kambing yang mengembik, maka sungguh aku telah menyampaikan. Ab umaid berkata, “Kemudian Nabi SAW mengangkat kedua tangannya sehingga aku dapat melihat putih kedua ketiaknya.”
(Dikeluarkan oleh Al-Bukhary dalam kitb mn dan na©ar, bab bagaimana cara Nabi SAW bersumpah)
Penjelasan adith
Dalam Islam, hadiah dianggap sebagai sala satu cara untuk lebih merekatkan persaudaraan atau persahabatan, sebagaimana disebutklan dalam sebuah adith yang diriwayatkan oleh mm Mlik dalam kitb Mwaa dan al-Khrasany :
قَصَا فَحُوا يَذُهَبُ اْلغُلَّ وَتَهَادُوْا تَحَابُوْا وَتَذْهَبَ الشَّحْنَاءَ (رواه الإمام مااك)
Artinya : “Saling bersalamanlah kamu semua, niscaya akan menghilangkan kedengkian, s,aling memberi hadiahlah kalian semua, niscaya akan saling mencintai dan menghilangkan percekcokan”. (H.R. mm Mlik)
Senada dengan adith di atas, Turmu©y meriwayatkan adith lain dari Ab urairah :
قَهَادُوْا فَإِنَّ اْلهَدِيَّةَ تَذْهَبُ حَتَّ الصَّدْرِ (رواه الترمذى)
Artinya : “Saling memberi hadiahlah kamu semua, sesungguhnya hadiah itu menghilangkan kebencian dan kemarahan” (H.R. Turmu©y)
Bagi orang yang diberi hadiah, disunahkan untuk menerimanya meskipun hadiah tersebut kelihatannya hina dan tidak berguna. Nabi bersabda :
عَنْ أَنَسٍ قَالَ : قَالَ رَسَوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : لَوْأُهْدِى إِلَيَّ كُرَاعٌ لَقَبِلْتُ (رواه الترمذى)
Artinya : “Dari Anas r.a bahwa Nabi SAW bersabda, “kalau saya diberi hadiah keledai, pati amkan saya terima”. (H.R. Turmu©y)
Dari keterangan-keterangan di atas, jelaslah pada dasarnya memberi hadiah kepada orang lain sangat baik dan dianjurkan untuk lebih meningkatkan rasa saling mencintai. Begitu pula bagi yang diberi hadiah disunahkan untuk menerimanya.
Hadiah adalah suatu yang diberikan dengan maksud sebagai bukti kasih sayang dan adanya persahabatan. Ada suatu pertanyaan : “Kapan hadiah dikategorikan sebagai suap?” Menurut Syara’, hukum asal hadiah adalah sunah, sebagaimana dith yang diriwayatkan. Akan tetapi Islam pun memberi rambu-rambu tertentu dalam masalah hadiah, baik yang berkaitan dengan pemberi hadiah maupun penerimanya. Dengan kata lain, tidak semua orang diperbolehkan menerima hadiah. Misalnya bagi seorang pejabat atau pemegang kekuasaan.
Islam melarang seorang pejabat atau petugas negara dalam posisi apapun untuk menerima atau memperoleh hadiah dari siapapun. Karena hal itu tidaklah layak dan dapat menimbulkan fitnah. Disamping sudah mendapatkan gaji dari negara, alasan pemberian hadiah tersebut berkat kedudukannya. Bila dia tidak memlikiki kedudukan atau jabatan, belum tentu orang-orang tersebut memberikan hadiah. Sebagaiman dinyatakan dalam dith di atas bahwa jika ia tidak menjabat dan hanya diam di rumah, tidak ada seorang pun yang memberikan hadiah kepadanya.
Hadiah yang diberikan seorang pejabat sebenarnya bukanlah haknya. Disamping itu niat orang-orang memberi hadiah kepada pejabat atau para pegawai, dipastikan dipastikan tidak didorong dan didasarkan pada keikhlasan sehingga perbuatan mereka akan sia-sia dihadapan Allah SWT. Kalau mereka ingin memberi hadiah, mengapa tidak memberikannya kepada mereka yang lebih membutuhkan dari pada pejabat.
Seorang pejabat yang menerima hadiah dari orang, berarti dia mendekatkan dirinya pada perbuatan kolusi dan nepotisme. Dalam pelaksanaan kewajiban khususnya, misalnya dalam pengaturan tender, penempatan pegawai, dan lain-lain, bukan lagi didasarkan pada aturan yang ada, namun lebih didasarkan pada apa yang diberikan orang kepadanya dan seberapa dekat orang hubungannya dengan orang tesebut. Dan ia akan memmpermudah ber bagai urusan yang memberinya hadiah dan tidak mempedulikan urusan orang yang tidak dia kenal dan tidak pernah memberinya hadiah apapun. Dengan demikian akan berpengaruh pada kinerjanya.
Dengan demikian, sangatlah pantas kalau Rasulullah melarang seorang pegawai atau petugas negara untuk menerima hadiah karena menimbulkan kemadaratan, walaupun pada asalnya menerima hadiah dianjurkan. Dalam kaidah ushul fiqih dinyatakan bahwa “suatu perantara yang akan menimbulkan suatu kemadaratan tidak boleh dilakukan”.
Mayoritas umat Islam sepakat bahwa hadis adalah merupakan sumber hukum yang sangat penting sebagai pedoman utama ajaran Islam setelah al-Qur’an. Dengan kata lain bahwa, al-Qur’an merupakan sumber ajaran Islam yang pertama, sedangkan hadis Nabi SAW adalah merupakan sumber ajaran Islam yang kedua. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Hasyr , ayat 7 yang artinya:
“ Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya”.
Berdasarkan petunjuk ayat tersebut di atas, jelaslah bahwa untuk mengetahui petunjuk hukum yang benar dalam ajaran Islam, di samping harus berpegang teguh pada al-Qur’an juga harus berpegang teguh pada hadis Nabi SAW. Dalam hal ini Nabi SAW sendiri telah menginformasikan kepada umatnya bahwa, di samping al-Qur’an masih terdapat satu pedoman yang sejenis dengan al-Qur’an, yakni al-Hadis. Sebagaimana sabdanya mengatakan: “Wahai umatku, sungguh aku telah diberi al-Qur’an dan yang menyamainya”. (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Turmudzi )
Jadi tidak diragukan lagi bahwa yang dimaksud dengan “menyamai” atau semisal al-Qur’an dalam matan hadis di atas adalah hadis Nabi SAW. Mengingat peran hadis yang begitu penting sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur’an, mengharuskan adanya penelitian yang mendalam sebagai upaya menjaga kualitas kemurnian, keotentikan, dan kesahihannya. Sehingga secara legal hadis-hadis yang telah terseleksi keotentikannya dapat dipertanggung jawabkan sebagai hujjah dalam menetapkan suatu hukum.
Langkah penelitian terhadap kualitas hadis menjadi sangat penting, mengingat bahwa latar belakang sejarah penghimpunan hadis baru terjadi pada akhir tahun 100 H. (awal akhir abad ke II H.), atas perintah Khalifah Umar Ibn ‘Abd al-Azis yang memerintah sekitar tahun 717-720 M.
Dengan melihat jauhnya jarak antara masa kehidupan Nabi SAW dengan masa perhimpunan hadis-hadis tersebut, tidak menutup kemungkinan terjadinya berbagai manipulasi, pemalsuan, dan penyimpangan terhadap matan hadis dan lain sebagainya. Sehingga menyebabkan kualitas hadis menjadi berbagai macam bentuknya, ada yang di anggap sahih, hasan maupun dha’if. Perlu dijelaskan di sini bahwa terjadinya kualitas hadis hasan adalah merupakan pecahan dari kualitas hadis dha’if yang dipergunakan sebelum masanya al-Turmudzi.
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka adanya usaha penelitian penelusuran terhadap hadis-hadis yang dipergunakan untuk menetapkan hukum, terutama yang berhubungan dengan masalah larangan menerima hadiah bagi para pejabat dalam melaksanakan tugasnya, tidak menutup kemungkinan akan menghasilkan pernyataan kualitas hadis yang berbagai macam. Apakah hadis –hadis yang dijadikan sebagai landasan hukum tersebut berkualitas sahih, hasan ataupun dha’if. Oleh karena itu untuk menggunakan kapasitas sebuah hadis dalam kualifikasi sahih, hasan atau dha’if, tidak bisa tidak kecuali harus melakukan verifikasi melalui penelitian baik terhadap sanad maupun terhadap matan hadis. Dimana proses ini merupakan upaya untuk memastikan paling tidak menduga secara kuat bahwa, hadis-hadis dimaksud benar-benar berasal dari Nabi SAW sehingga secara otentik bisa menjadi hujjah bagi penetapan hukum dalam Islam sekaligus dapat dipertanggung jawabkan kevaliditasannya.
PEMBAHASAN
Hadis Tentang Larangan Menerima Hadiah Bagi Para Pejabat
حد ثنا ابو اليما ن اخبرنا شعيب عن الزهرى قال اخبر نى عروة عن ابى حميد السا عدى انه أخبره
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اِسْتَعْمَلَ عَامِلاً فَجَاءَهُ الْعَامِلُ حِيْنَ فَرَغَ مِنْ عَمَلِهِ فَقَالَ: يَارَسُوْلَ اللهِ هـذَا لَكُمْ وهـذَا أُهْدِيَ لِيْ. فَقَالَ لَهُ: أَفَلاَ قَعَدْتَ فِى بَيْتِ أَبِيْكَ وَأُمِّكَ فَنَظَرْتَ أَيُهْدَى لَكَ أَمْ لاَ ؟ ثُمَّ قَامَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشِيَّةً بَعْدَ الصَّلاَةِ فَتَشَهَّدَ وَأَثْنَى عَلَى اللهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ، ثُمَّ قَالَ: أَمَّا بَعْدُ، فَمَا بَالُ الْعَامِلِ نَسْتَعْمِلُهُ فَيَأْتِـيْنَا فَيَقُوْلُ: هـذَا مِنْ عَمَلِكُمْ وَهـذَا أُهْدِيَ لِيْ أَفَلاَ قَعَدَ فِيْ بَيْتِ أَبِيْهِ وَأُمِّهِ فَنَظَرَ هَلْ يُهْدَى لَهُ أَمْ لاَ؟ فَوَ الَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَيَغُلُّ أَحَدُكُمْ مِنْهَا شَيْـأً إِلاَّ جَاءَ بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ يَحْمِلُهُ عَلَى عُنُقِهِ إِنْ كَانَ بَعِيْرًا جَاءَ بِهِ لَهُ رُغَاءٌ وَإِنْ كَانَتْ بَقَرَةً جَاءَ بِهَا خُوْارٌ وَإِنْ كَانَتْ شَاةً جَاءَ بِهَا تَيْعَرُ فَقَدْ بَلَّغْتُ فَقَالَ أَبُوْ حُمَيْدٍ: ثُمَّ رَفَعَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَهُ حَتَّى إِنَّا لَنَنْظُرُ إِلَى عُفْرَةِ إِبْطَيْهِ قال ابو حميد وقد سمع ذلك معى زيد بن ثا بت من النبى صلى الله عليه وسلم فسلوه. (أخرجه البخارى فى : 73 كتاب الأيمان والنذور 3. باب كيف يمين النبيِ صلّى الله عليه وسلّم)
Abu al-Yaman menceritakan kepada kami, Syu’aib memberitakan kepada kami, dari Al-Zuhri dia berkata : ‘Urwah memberitakan kepadaku, dari Abi Humaid al-Saidiy, dia telah memberitakannya, sesungguhnya Rasulullah SAW. mengangkat seorang amil (pegawai) untuk menertima sedekah/zakat. Kemudian setelah selesai dari pekerjaannya dia datang kepada Rasulullah SAW dan berkata: Ini untukmu dan yang ini hadiah yang diberikan orang kepadaku. Maka Rasulullah SAW bersabda kepadanya: Mengapakah anda tidak duduk saja di rumah bapak atau ibumu untuk melihat apakah di beri hadiah atau tidak. Kemudian sesudah shalat Rasulullah SAW berdiri setelah tasyahud dan memuji Allah selayaknya lalu bersabda: Amma ba’du, mengapakah seorang ‘amil yang diserahi mengurus pekerjaannya, kemudian ia datang lalu berkata, ini hasil untuk kamu dan ini aku diberi hadiah, mengapa ia tidak duduk-duduk saja di rumah bapak atau ibunya untuk mengetahui apakah diberi hadiah atau tida. Demi Allah yang jiwa Muhammad ditangan-Nya. Tiada seorang yang menyembunyikan sesuatu untuk diambil hasilnya (korupsi), melainkan ia akan menghadap dihari kiamat nanti memikul di atas lehernya, jika berupa onta akan bersuara, jika berupa lembu akan menguak, dan jika berupa kambing akan mengembik. Maka sungguh aku telah menyampaikan; Abu Humaid berkata: Kemudian Rasulullah SAW mengangkat kedua tangannya, hingga aku dapat melihat putih kedua ketiaknya. Berkata pula Abu Humaid, sungguh hal itu telah mendengar bersamaku Zaid ibn Sabit dari Nabi SAW. (Dikeluarkan oleh Al-Bukhari dalam kitab ‘Aiman dan Nadzar, Bab Bagaimana cara Nabi SAW. bersumpah)
Klasifikasi Hadis Tentang Larangan Menerima Hadiah Bagi Para Pejabat
Takhrij al- Hadis
Kata takhrij yang sering diartikan sebagai al-Istimbat (mengeluarkan dari sumbernya), al-Tadrib (latihan), dan al-Tawjih (pengarahan), ialah penelusuran atau pencarian hadis pada berbagai kitab hadis sebagai sumber asli dari hadis, yang di dalamnya dikemukakan secara lengkap matan dan sanad hadis yang bersangkutan. Kemudian guna kepentingan penelitian, maka akan dijelaskan hingga kualitas hadis yang dijadikan obyek penelitian.
Adapun metode takhrij al-Hadis yang akan dipergunakan dalam menelusuri hadis-hadis tentang larangan menerima hadiah bagi para pejabat, adalah terdapat dua macam metode, yakni : (1) Metode takhrij melalui lafal-lafal yang terdapat dalam hadis (takhrij al- hadis bi alfaz), yaitu adanya upaya pencarian hadis pada kitab-kitab hadis dengan cara menulusuri matan hadis yang bersangkutan. (2) Dengan metode takhrij melalui tema hadis (tematik) (takhrij al-hadis bi al-mawdu’), yakni upaya pencarian hadis pada kitab-kitab hadis berdasarkan topik masalah yang dibahas dalam sejumlah matan hadis.
Kualitas Hadis – Hadis
Penelitian Sanad dilakukan terhadap hadis yang berasal dari periwayat terakhir (Mukharrij al-Hadis) dari jalur Imam Al-Darimi bersama periwayat-periwayat di atasnya seperti Abu al-Yaman, Syu’aib, Al-Zuhri, ‘Urwah dan Abu Humaid al-Saidiy.
Untuk mempermudah proses kegiatan peninjauan terhadap sanad-sanad hadis tentang larangan menerima hadiah bagi para pejabat, berikut ini skema keseluruhan sanad yang terkait baik dari jalur periwayat al-Bukhari maupun sanad hadis yang berasal dari jalur Al-Darimi dalam kitab al-Zakat :
اخبرنا الحكم بن نافع ان شعيب عن الزهرى اخبرنى عروة ابن الز بير عن ابى حميد السا عدى انه اخبره ان النبى صلى الله عليه وسلم استعمل عاملا على الصد قة فجاءه العا مل حين فرغ من عمله فقال يارسول الله هذا الذى لكم وهذا اهدي لى فقال النبى صلى لله عليه وسلم فهلا قعـدت فى بيت ابيك وامك فنظرت ايهدى لك ام لا ثم قال النبى صلى لله عليه وسلم عشية بعد الصلاة على لمنبر فتشهد فحمدا لله وا ثنى عليه بما هو اهله ثم قال اما بعد فما بال العامل نستعمله فياء تينا فيقول هذا من عملكم وهذا اهدي لى فهلا قعد فى بيت ابيه وامه فينظر ايهدى له ام لا والذى نفس محمد بيده لا يغل احد كم منها شياء الا جاء به يوم القيا مة يحمله على عنقه ان كان بعيرا جاء به له رغاء وان كانت بقرة جاء بها لها خوا ر وا ن كا نت شا ة جاء بها تيعر فقد بلغت قال ابوحميد ثم رفع النبى صلى لله عليه وسلم يديه حتى انا لننظر الى عفرة ابطيه قال ابو حميد وقد سمع ذالك معى من رسول الله صلى لله عليه وسلم زيدبن ثابت فسلوه.
Dalam rangkaian sanad hadis di atas (nama periwayat) dan lafal-lafal penerima riwayat (siHgat al-Tahammul), seperti lafal haddasani, haddasana(sana), akhbarani, akhbarana (ana), ‘an, dan anna, adalah merupakan tanda penghubung antara periwayat yang satu dengan periwayat yang lain. Terlihat juga adanya seorang sahabat yang berfungsi sebagai periwayat tingkat pertama, yakni Abu Humaid al-Sa’idi. Pada tingkat kedua, ketiga, keempat dan pada tingkat ke lima masing-masing terdapat satu orang periwayat. Itu berarti apabila di'lihat dari segi banyak dan sedikitnya sanad atau rawi, hadis tentang larangan menerima hadiah bagi para pejabat adalah termasuk klasifikasi hadis ahad.
Yang dimaksud hadis ahad menurut istilah adalah, hadis yang diriwayatkan oleh orang seorang atau dua orang atau lebih , akan tetapi belum cukup syarat padanya untuk di masukkan sebagai yang mutawwatir.
Adapun sanad hadis yang sedang dijadikan obyek penelitian ini adalah termasuk dalam katagori hadis ahad yang gharib. Menurut istilah Fatchur Rahman yang dimaksud dengan hadis gharib ialah hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan, dimana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.
Jadi kehgariban tersebut sesungguhnya hanya terletak pada sanad (rawi) saja, bukan terletak pada matan hadis, sebab tidak ditemukan adanya lafal yang sulit atau tidak populer atau tidak dimuat dalam sanad-sanad yang lain. Dan yang dimaksudkan dengan penyendirian (ifrad) rawi disini ialah karena tidak adanya orang lain yang meriwayatkan selain rawi itu sendiri, dimana penyendirian itu dapat terjadi pada tingkat tabi’i, tabi’it tabi’i atau dapat juga terjadi pada seluruh rawi rawi pada tiap-tiap tabaqat, kecuali pada tingkat sahabat.
Berdasarkan Kritik Sanad
Sanad yang di pilih untuk diteliti langsung sebagaimana yang tertera pada rangkaian sanad di atas adalah dari jalur periwayatan Imam al-Darimi, kemudian ke atas hingga tabaqat pertama pada seorang sahabat Nabi SAW, yakni Abu Humaid al Sa’idi.
al – Darimi
Nama lengkapnya adalah ‘Abd Allah bin ‘Abd al-Rahman bin al-Fadl bin Bahram bin ‘Abd al-Samad al-Darimi al-Tamimiy Abu Muhammad al-Samarkandiy (181-255 H.). Dalam riwayat hidupnya, dia pernah berguru kepada ‘Abd al-Yaman , dan salah seorang muridnya yang terkenal adalah al-Bukhari. Al-Darimi adalah termasuk periwayat hadis yang berkualitas tsiqat.
Hal ini dapat di pahami dari beberapa pernyataan ahli kritik hadis tentang dirinya, seperti : (1) Ahmad bin Hambal, bahwa al-Darimi ialah seorang imam. (2) Ahmad bin Sayyar (w. 268 H.), bahwa al-Darimi adalah orang yang berpengetahuan luas, dengan karya besarnya telah menyusun kitab al-Musnad dan al-Tafsir. (3) al-Khatib al-Baghdadi (w.463 H.), bahwa al-Darimi adalah orang yang senang mengembara mencari hadis Nabi, mengumpulkan dan menghafalkannya. Dan dia itu termasuk orang yang tsiqat, sidq, wara’ dan zuhud.
Tidak ada seorangpun yang mencela pribadi al-Darimi, sebaliknya pujian yang diberikan kepadanya adalah pujian yang berperingkat tinggi dan tertinggi. Oleh karena itu, di yakini bahwa al-Darimi adalah benar-benar menerima hadis dari abu al-Yaman. Hal ini di dukung oleh lambang periwayatan yang digunakan adalah dengan lafal “akhbarana”, yang dimungkinkan dengan metode al-Sama’, al-Qira’ah atau dengan al-Ijazah. Yang berarti pula bahwa antara al-Darimi dengan abu al-Yaman terjadi persambungan sanad.
Abu al-Yaman
Nama lengkapnya adalah al-Hakam bin Nafi’ al-Bahrani abu al-yaman al-Himsi (w.221/222 H.). Dia menerima hadis dari Syu’aib bin Abi Hamzah, dan murid yang meriwayatkan hadisnya adalah al-Bukhari dan al-Darimi.
Para kritikus hadis memberi penilaian terhadap diri Abu al-Yaman dengan pernyataan sebagai berikut : (1) Ahmad ibn Hambal bertanya : Bagaimana caranya kamu mendengar ( menerima) hadis dari Syu’aib ? Abu al-Yaman menjawab : Sebagian dengan cara al-Qira’ah.
Yang dimaksud dengan al-qira’ah ialah periwayat menghadapkan riwayat hadis kepada guru hadis dengan cara periwayat itu sendiri yang membacanya atau orang lain yang membacakannya,dan ia mendengarkan. Cara ini biasa di sebut “al-‘ard” (penyodoran). (2) Abu Hatim dan Muhammad bin ‘Abd Allah bin ‘Ammar al-Musili mengatakan bahwa, Abu al-Yaman adalah orang yang tsiqat.
Berdasarkan pernyataan para ahli kritikus hadis tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa, Abu al-Yaman adalah periwayat hadis yang memiliki kualitas pribadi yang baik, lebih-lebih lambang periwayatan yang di gunakan adalah lafal “akhbarana”, yang di mungkinkan ia menerima hadis tersebut dengan al-sama’, al-qira’ah atau dengan cara al-ijazah.
Maksud dari pada al-Ijazah ialah, seorang guru hadis memberikan izin kepada seseorang untuk meriwayatkan hadis yang ada padanya, baik melalui lisan maupun tulisan. Dan mayoritas ‘Ulama membolehkan cara al-Ijazah ini bahkan menilainya cukup terpercaya untuk periwayatan hadis.
Dengan demikian bahwa, Abu al-Yaman adalah seorang yang benar-benar telah menerima hadis dari gurunya, yang berarti pula bahwa, sanad hadis yang ada di antara keduanya adalah bersambung dan dapat di percaya.
Syu’aib
Nama lengkapnya adalah Syu’aib bin Abi Hamzah Dinar al-Amawi Mawlahum Abu Bisyr al-Himsi (w.162 H.). Dia menerima hadis dari al-Zuhri, dan muridnya yang meriwayatkan hadisnya adalah Abu al-Yaman.
Ibn Ma’in, al-‘Ijli, Ya’qub bin Syaybah, Abu Hatim dan al-Nasa’i, menilai Syu’aib bersifat tsiqat. Lebih lanjut Ibn Ma’in menjelaskan bahwa dia termasuk orang yang asbat pada al-Zuhri dan menjadi sekretarisnya. Ahmad menilai bahwa, Syu’aib itu sabt, salih al-hadis, dia penulis dengan penuh kecermatan (dabit). Abu al-Yaman menilai, Syu’aib itu sangat ketat dalam hadis. Dan Abu Dawud juga menjelaskan bahwa, Syu’aib adalah asakh hadisan min al-Zuhri. Kecuali itu tak seorangpun dari ahli kritik hadis yang mencela pribadi Syu’aib. Dan pujian yang diberikan kepadanya adalah berperingkat tinggi. Dengan melihat hubungan pribadinya dengan al-Zuhri yang begitu akrab dengan menggunakan lambang periwayatan “akhbarana”, maka diyakini bahwa Syu’aib benar-benar telah menerima hadis dari gurunya, yakni al-Zuhri. Yang berarti pula bahwa sanad di antara keduanya adalah bersambung.
Al-Zuhri
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muslim bin ‘Ubayd Allah bin ‘Abd Allah bin Syihab bin ‘Abd Allah bin al-Haris bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Galib al-Quraisy Al-Zuhri Abu Bakr al-Madani (50-124 H.). Ia lebih populer dengan nama Ibn Syihab atau Al-Zuhri. Ia menerima hadis dari ‘Urwah, sedangkan muridnya yang meriwayatkan hadisnya adalah Syu’aib.
Al-Zuhri adalah periwayat hadis yang diandalkan kejujuran dan kedabitannya. Hal itu diakui para ahli kritikus hadis seperti : (1) Ibn Sa’ad, bahwa al-Zuhri adalah orang yang tsiqat, ilmuwan, periwayat yang faqih dan jami’. (2) Abu al-Zinad, bahwa Al-Zuhri adalah orang yang paling berilmu dimasanya, ia dapat menulis apa yang pernah di dengarnya dan menjadi hujjah. (3) Al-Lays menyatakan bahwa, saya tidak pernah melihat orang yang pintar melebihi al-Syihab. (4) Ibn Manjuwiyah juga menyatakan bahwa, Al-Zuhri adalah orang yang pernah bertemu dengan sepuluh sahabat Nabi, dan dia adalah yang paling hafiz pada masanya.
Berdasarkan penilaian para kritikus hadis tersebut, menunjukkan bahwa Al-Zuhri adalah seorang tabi’in kecil yang berkualitas tsiqat. Dia menerima hadis dari ‘Urwah (seorang tabi’in besar) dengan lambang periwayatan “’an” yang dipercaya dan diyakini bahwa antara keduanya terjadi persambungan sanad.
‘Urwah
Dia adalah ‘Urwah bin al-Zubayr bin al- ‘Awwam bin Khuwaylid bin Asad bin ‘Abd al-‘Uzza al-Qurasyy al-Asaidi, Abu ‘Abd Allah al-Madani (22-92 H.). Sebagai seorang tabi’in besar yang teruji kualitasnya, ‘Urwah termasuk periwayat hadis yang banyak menerima hadis dari ‘Aisyah (bibinya), di samping berguru kepada Asma bint Abi Bakr (ibunya) sendiri, juga kepada Abu Humaid al-Saidi. Sedang murid-muridnya adalah al-Zuhri, Hisyam (putranya) dan lain-lain.
Menurut penilaian ahli kritik hadis, ‘Urwah termasuk periwayat hadis yang terpuji. Hal itu sebagaimana dikemukakan oleh : (1) Ibn Sa’ad, menempatkannya sebagai al-tabaqat al-saniyah (tingkat kedua) dari penduduk Madinah. ‘Urwah adalah seorang yang tsiqat, faqih,ma’mun, ‘alim dan sabt. (2) al-Ijliy mengatakan bahwa, ‘Urwah adalah tabi’in yang tsiqat, saleh dan tidak pernah terkena fitnah. (3) Sufyan bin Uyainah (w.198 H.), mengatakan hanya ada tiga orang yang paling mengetahui hadis ‘Aisyah, yaitu : al-Qasim bin Muhammad, ‘Urwah bin al-Zubair, dan ‘Amrah bint ‘Abd al-Rahman. (4) Sedang ibn Hibban memasukkan ‘Urwah kedalam orang yang tsiqat. Dia adalah penduduk Madinah yang sangat utama dan cendekiawan.
Sebagai seorang tabi’in besar yang pada umumnya langsung menerima hadis dari para sahabat Nabi, adalah tidak diragukan lagi kebenarannya bahwa, sanad antara ‘Urwah dengan sahabat Abu Humaid al-Saidi adalah benar-benar bersambung.
Abu Humaid
Dia adalah Humaid bin Nafi’ al-Ansari Abu Aflah al-Madani Maula Safwan bin Aus. Abu Humaid adalah seorang sahabat Nabi yang sering bersama-sama sahabat Zaid ibn Sabit, salah seorang yang dipercaya Nabi SAW sebagai sekretarisnya sejak berumur 11 tahun. Salah satu murid Abu Humaid yang sangat tsiqat, faqih, ma’mun dan ‘alim yang menerima riwayatnya adalah ‘Urwah bin al-Zubair.
Abu Humaid di samping sebagai sahabat Nabi SAW, juga sebagai periwayat hadis yang memiliki keadilan dan kekuatan hafalan yang dapat diandalkan. Hal ini dapat di fahami dari beberapa pernyataan dari ‘ulama rijal al-hadis, seperti Zainab bint Umm Salamah, Imam al-Nasa’i, al-Bukhari, Muslim, dan ibn Hibban, bahwa Abu Humaid adalah seorang sahabat yang tsiqat. Tidak ada seorang ahli rijal al-hadis yang mencela pribadinya. Dan dengan melihat hubungannya yang sering bersama-sama Nabi dan para sahabat Nabi lainnya, dapatlah dinyatakan bahwa hadis yang sanadnya diteliti saat ini adalah terjadi persambungan antara periwayat (Abu Humaid) dengan Nabi SAW.
Apabila dicermati secara seksama keseluruhan sanad sebagaimana yang tertera pada skema sanad tersebut di atas, adalah memiliki integritas pribadi yang terpuji, tidak mengandung syadz dan ‘illat (mengandung kejanggalan dan kecacatan), karena seluruh periwayatnya dapat diandalkan kejujuran dan kekuatan hafalannya (tsiqat) kemudian sanad satu dengan yang lainpun bersambungan (muttasil). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hadis riwayat al-Darimi yang tengah diteliti saat ini adalah telah memenuhi syarat-syarat sebagai sanad hadis yang memiliki kualitas sahih.
Berdasarkan Penelitian Matan
Penelitian terhadap matan dipandang sangat penting, mengingat kedudukan matan hadis bisa mempengaruhi kualitas kesahihan hadis dimana suatu hadis barulah dapat dinyatakan berkualitas sahih, apabila sanad dan matan hadis tersebut sama-sama berkualitas sahih
Jadi hadis yang sanadnya sahih tetapi matannya tidak sahih (da’if) atau sebaliknya, yakni sanadnya dha’if, tetapi matannya sahih, maka hadis yang demikian tidak dapat di nyatakan sebagai hadis sahih.
Untuk mengetahui bahwa, suatu matan hadis itu berkualitas sahih, minimal matan tersebut harus memenuhi empat macam tolok ukur, di antaranya: (1) Tidak bertentangan dengan al-Qur’an. (2) Tidak bertentangan dengan hadis mutawwatir. (3) Tidak bertentangan dengan ijma’ ‘Ulama, dan (4) Tidak bertentangan dengan logika yang sejahtera.
Musthafa al-Siba’i menambahkan bahwa, suatu matan hadis dapat dinilai berkualitas palsu (tidak berasal dari rasul), apabila matan hadis tersebut : (1) Memiliki susunan gramatika sangat jelek. (2) Maknanya sangat bertentangan dengan pendapat akal. (3) Menyalahi al-Qur’an yang tegas maksudnya. (4) Menyalahi kebenaran sejarah yang telah terkenal di zaman Nabi. (5) Bersesuaian dengan pendapat orang yang meriwayatkannya, sedang orang tersebut terkenal sangat fanatik terhadap mazhabnya. (6) Mengandung suatu perkara yang seharusnya di beritakan oleh orang banyak, tetapi ternyata hanya di riwayatkan oleh seorang saja. (7) Mengandung berita tentang pemberian pahala yang besar untuk perbuatan yang kecil, atau ancaman siksa yang berat terhadap suatu perbuatan yang tidak berarti.
Berdasarkan kriteria kesahihan matan yang dijadikan tolok ukur sebagaimana kriteria-kriteria tersebut di atas, maka dapat di simpulkan bahwa, matan hadis tentang larangan menerima hadiah bagi para pejabat yang di riwayatkan oleh imam al-Darimi adalah matan hadis yang tidak bertentangan sama sekali dengan tolok ukur kesahihan matan hadis. Dan dapat dinyatakan sebagai matan hadis yang berkualitas sahih (benar-benar berasal dari Nabi SAW.).
Berdasarkan Pemahaman Secara Tekstual dan Secara Kontekstual
Pemahaman Secara Tekstual
Secara tekstual terdapat beberapa kata kunci dalam matan hadis yang dijadikan obyek penelitian, di antaranya: ( terangkatnya seorang pegawai, pejabat, pekerja atau orang yang diserahi tanggung jawab untuk melaksanakan tugas, kemudian menerima hadiah, tetapi berkesan menyembunyikan sesuatu untuk diambil hasilnya atau berkhianat dalam arti populer terindikasi melakukan korupsi), maka Nabi SAW dengan tegas hingga dinyatakan dua kali dengan menggunakan kata “isim istifham” (kata untuk bertanya) seperti kata-kata , yang menurut ahli Ushul mempunyai arti “ al-Nahyi” atau larangan yang bersifat “taubikh” (menegur). Larangan tersebut terlihat pada sikap ketidak relaan Nabi ketika menerima laporan dari seorang pegawai yang menerima hadiah ketika ia sedang menjalankan tugasnya.
Dengan demikian secara tekstual hukum bagi seorang pegawai atau pejabat yang menerima hadiah menurut hadis Al-Darimi adalah tidak boleh atau “haram hukumnya”.
Pemahaman Secara Kontekstual
Secara kontekstual, sesungguhnya makna hadis dari al-Darimi adalah ditunjukkan kepada orang banyak, tidak mengkhusus kepada hukum seorang pegawai atau pejabat yang menerima hadiah, tetapi lebih bersifat umum. Hal itu terbukti dari asbab al-Nuzul hadis tersebut pernah disampaikan Nabi SAW ketika selesai turun dari mimbar shalat, dengan nada ketidak puasan nabi kepada seorang pegawai yang telah melapor kepadanya di hadapan orang banyak. Sesungguhnya dasar hukum yang melarang seorang menerima hadiah adalah lebih disandarkan atau di qiyaskan kepada kasus seorang pegawai yang karena jabatan atau pekerjaannya, sehingga seorang datang memberikan hadiah kepadanya bukan karena dasar sukarela, tetapi dicurigai oleh Nabi SAW mempunyai maksud-maksud tertentu, hubungan tertentu atau latar belakang tertentu, dengan istilah populer hadiah yang di terimanya itu terindikasi berbau kolusi, nepotisme dan individualistis. Jadi apabila seseorang menerima hadiah dari orang yang memberi hadiah kepadanya bukan karena niat atau maksud-maksud tertentu , tetapi atas dasar sukarela dan bertujuan untuk memuliakan serta hanya mengharap ridha Allah SWT, maka pemberian hadiah atau penerimaan hadiah seperti ini adalah tidak termasuk katagori yang dilarang sebagaimana hukum yang terkandung dalam hadis riwayat Imam al-Darimi.
KESIMPULAN
Dengan selesainya pembahasan tentang penelitian metodologis hadis masalah korupsi, kolusi, nepotisme dan individualistis, yakni studi kasus atas hadis Abu al-Humaidi tentang larangan menerima hadiah bagi pejabat dalam melaksanakan tugasnya, dapat di simpulkan beberapa hal penting sebagai berikut :
Mengingat peran al-Hadis yang begitu penting sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur’an, mengharuskan adanya langkah penelitian yang mendalam sebagai upaya untuk menjaga kualitas kemurnian, keotentikan dan kesahihannya. Sehingga dapat di pertanggung jawabkan sebagai dasar penetapan hukum dalam Islam.
1. Sesungguhnya hadis riwayat Al-Darimi yang dijadikan sebagai landasan hukum tentang larangan menerima hadiah bagi para pejabat, apabila dilihat dari kualitas sanad, maupun matannya adalah berkualitas sahih, walaupun masuk dalam katagori hadis ahad. Sehingga dengan demikian keabsahannya sebagai landasan hukum Islam dapat di terima .
2. Secara tekstual maupun secara kontekstual, isi kandungan hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Darimi, berintikan adanya larangan memberi atau menerima suatu hadiah yang dilatar belakangi oleh adanya maksud atau niat tertentu, hubungan tertentu yang dalam istilah populer sekarang terkenal dengan adanya indikasi suap, kolusi, nepotisme dan individualistis di dalamnya. Sedang pemberian atau penerimaan hadiah yang disebabkan oleh adanya latar belakang dasar suka rela, untuk memuliakan satu dengan yang lainnya, dan untuk menjalin perdamaian di antara sesama yang dilakukan semata-mata mengharap ridha Allah SWT, maka pemberian atau penerimaan hadiah semacam ini tidak termasuk dalam larangan, bahkan sangat dianjurkan oleh Nabi SAW.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Adlabi, Salah al-Din bin Ahmad. Manhaj Nadq al-Matn. Beirut:Dar al-Afaq al-Jadidah, 1403 H./1983 M.
Al-‘Asqalani, Syihab al-Din Ahmad bin ‘Ali bin Hajar. Tahzib al-Tahzib. Jilid III, IV, V, VI, dan VII. Beirut: Dar al-Fikr, 1404 H./1984 M.
Al-Baghdadi, Abu Bakar Ahmad bin ‘Ali al-Khatib. Tarikh Bagdad aw Madinah al-Salam, Juz X. al-Madinah al-Munawwarah: al-Maktabah al-salafiyyah,t.th.
‘Abd al-Hadi, Abu Muhammad ‘Abd al-Muhdi bin ‘Abd al-Qadir. Turuq Takhrij Hadis Rasulullah SAW, di terjemahkan oleh H.S. Agil Husain Munawwar dan H.Ahmad Rifqi Muchtar. Metode Takhrij Hadis. Semarang: Dina Utama, 1994.
Al-Darimi, al-Imam al-Kabir ‘Abd Allah bin ‘Abd al-Rahman bin al-Fadil bin Bahram ibn ‘Abd al-Samad al-Tamimiy al-Samarqandiy. Sunan al-Darimi. Dar al-Fikr: al-Tab’ah wa al-Nasyr wa al-Tawziy, t.th.
al-Bukhari, Abi ‘Abd Allah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim ibn al-Mughirah. Sahih al-Bukhari, al-Juz VII. Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H./1981 M.
Al-Sijistani, Abu Dawud Sulaiman ibn al-Asy’as. Sunan Abu Dawud, Juz IV. Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Al-Suyuti, Jalal al-Din ‘Abd al-Rahman bin Abi Bakr. Tabaqat al-Huffaz. Beirut: Dar al-Kutb al-‘Ilmiyah, 1403 H./1983 M.
Al-Tahhan. Usul al-Takhrij wa Dirasat al-Asanid. Halb : Matba’at al-Arabiyyah, 1398 H./1979.
Al-Zahabi, Abu ‘Abd Allah Muhammad bin Ahmad bin ‘Usman.Siyar A’lam al-Nubala’. Cet.ke-VII; Beirut: Mu’assasat al-Risalah, 1410 H./1990 M.
As-Siba’i, Musthafa. As-Sunnah wa Makanatuha Fit-Tasyri’il Islami. Al-Darul Qaumiyyah, t.th.
Amin,Ahmad. Islam Dari Masa Ke Masa. Cet.ke-1 ; Bandung: CV Rasyda, 1987.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahnya, Edisi Refisi. Surabaya: Pen. Mahkota, 1989.
Hanafi, A. Ushul Fiqh. Cet. Ke-7; Jakarta: Widjaya, 1980.
Ibn Taymiyah,Taqi al-Din Ahmad ibn ‘Abd al-Halim. Majmu’ Fatawa li Ibn Taymiyah, Juz I. T.t.: Matabi’ Dar al-Arabiyyah, 1398 H.
Ibn Al-Salah. ‘Ulum al-Hadis. Al-Madinat al-Munawwarah: al-Maktabah al-Ilmiyyah, 1972.
Ismail, M.Syuhudi. Kaidah Kesahihan Sanad Hadis (Telaah Kritis dan Tinjauan DenganPendekatan Ilmu Sejarah). Jakarta: Bulan Bintang, 1988.
———————-. Cara Praktis Mencari Hadis. Jakarta: Bulan Bintang, 1991.
———————-. Pengantar Ilmu Hadis. Cet. Ke-2; Bandung: Angkasa, 1991.
BACA JUGA:
- Macam Bentuk Tes - New !!
- Larangan Bagi Pejabat Untuk Menerima Hadiah
- Larangan Bagi Pejabat Untuk Menerima Hadiah
- hadits tentang larangan pejabat menerima hadiah - New !!
- larangan pejabat menerima hadiah - New !!
- Pendidikan Berkarakter vs Kecurangan di Ujian Nasional - New !!
- Apresiasi sastra
- Pengertian Apresiasi sastra
0 komentar:
Post a Comment